Nusiroh, Nusiroh (2019) Tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap batalnya perkawinan (fasakh) karena ketidakmampuan suami memberi nafkah. Diploma thesis, UNUSIA.
NUSIROH-16150012.pdf
Download (4MB)
Abstract
Fasakh perkawinan adalah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan suami atau istri karena salah seorang dari suami atauisteri tidak dapat menjalankan kewajibannya atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Fasakh tidak sama dengan perceraian karena perceraian/talak adalah hak suami, sementara fasakh dapat diajukan oleh suami atau istri. Di antara kemelut rumah tangga yang sering terjadi di masyarakat adalah ketidakmampuan suami memberi nafkah kepada istrinya.
Penelitian dalam skripsi ini termasuk penelitian kepustakaan dan bersifat deskriptif-analitis. Skripsi ini berupaya memaparkan dan menganalisis ketentuan hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia terhadap batalnya perkawinan (fasakh) karena ketidakmampuan suami memberi nafkah.
Setelah menelusuri bahan-bahan kepustakaan tentang fasakh menurut hukum Islam dan hukum positif, dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan suami memberi nafkah kepada istri menurut mazhab Hanafi tidak dapat dijadikan alasan untuk memfasakh (membatalkan) perkawinan. Sementara menurut tiga mazhab lainnya yaitu Maliki, Syafi’i dan Hanbali, istri dapat mengajukan fasakh perkawinan karena suami tidak mampu memberi nafkah. Bahkan menurut mazhab Syafi’i, setelah terbukti suami tidak memberi nafkah kepada istrinya, ia akan diberi tenggat waktu tiga hari untuk menafkahi istrinya. Apabila pada hari keempat, suami masih belum memberi nafkah, maka hakim akan memfasakh perkawinannya. Sementara hukum positif yang berlaku di Indonesia baik UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam tidak menyinggung sama sekali perihal batalnya perkawinan (fasakh) karena ketidakmampuan suami memberi nafkah. Ini artinya, hukum positif Indonesia mungkin mengadopsi pendapat mazhab Hanafi. Meski begitu, istri dapat mengajukan cerai gugat dengan alasan suami melalaikan kewajibannya memberi nafkah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan dan pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam. Karena memang hukum positif Indonesia, untuk memutus ikatan perkawinan hanya mengenal istilah cerai talak (bila diajukan oleh suami) dan cerai gugat (biladiajukan oleh istri).
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Hukum Islam, Batalnya perkawinan |
Subjects: | 200 – Agama > 200 Agama > 200 Agama |
Divisions: | Fakultas Hukum > S1 Hukum Keluarga |
Depositing User: | Unnamed user with email anasghozali@unusia.ac.id |
Date Deposited: | 08 Aug 2023 06:44 |
Last Modified: | 10 Aug 2023 07:50 |
URI: | https://repository.unusia.ac.id/id/eprint/44 |