Naimah, Naimah (2018) Tarekat Tijaniyah di Brebes: Suatu tinjauan sosiologi. Masters thesis, UNUSIA.
Tarekat Tijaniyah di Brebes-NAIMAH.pdf
Download (11MB)
Abstract
Tasawuf merupakan salah satu cabang Islam yang menekankan pada dimensi spiritual. Dimensi yang di dalamnya ada pemahaman esoterik mengenai Islam itu sendiri.2 Sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang umat Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT.3 Secara spesifik sebenarnya tasawuf merupakan bagian dari pembedahan rahasia dibalik teks-teks ilahiah. Secara ringkas, Al-Qur’an menjelaskan konsepsi tasawuf dalam bentuk dorongan manusia yang menjelajahi dan merundukkan hatinya serta tidak tergesa-gesa puas dengan aktivitas dan ritual lahiriah. Pada perkembangannya, sejak abad XII M, tasawuf mulai mengambil bentuk tarekat, yaitu gerakan sufi dimana
umat Islam mengamalkan ritual-ritual keagamaan dengan menjalankan wirid tertentu dengan tujuan untuk menempatkan diri mereka lebih dekat bersama Allah. Kegiatan ini biasanya diajarkan oleh sufi tertentu dan diikuti oleh para murid atau pengikutnya. Sufi dan para murid serta pengikutnya itu menjadi satu organisasi atau jamaah yang dapat membuat tasawuf yang diamalkan mereka menjadi tersebar luas di dunia muslim.6 Karena para sufi ini umumnya mengajarkan Islam sesuai dengan tarekat yang mereka ikuti, para peneliti menyimpulkan pertumbuhan kelompok Islam itu bersamaan dengan perkembangan organisasi-organisasi tarekat.7 Sejak itu pulalah tarekat mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dapat dikatakan bahwa dunia Islam sejak abad ke-13 M, telah dikuasi oleh tarekat. Meskipun esensi semua tarekat sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun setiap tarekat mempunyai karakter sendiri-sendiri disamping ada
keragaman dan nuansa yang membedakan antara tarekat yang satu dengan yang lainnya. Di Nusantara perkembangan tasawuf yang ditandai dengan jenis tarekat yang masuk ke Nusantara sangatlah beragam. Sejak abad ke-16, Tarekat Syattariyah dikembangkan oleh Abdurauf Singkel yang kemudian dikembangkan oleh Abdul Muhyi di Jawa Barat hingga menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Begitu pula tarekat Qadiriyah yang bermula di bawah pimpinan Hamzah Fansuri juga berkembang hingga ke Jawa. Pada abad ke-19 tarekat-tarekat memperoleh semangat dan dukungan baru dari masyarakat. hal ini disebabkan kedatangan para pengikut Syaikh Khatib Sambas dan Sulaiman Efendi dari Mekah. Syaikh Khatib Sambas diketahui pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah sedangkan Sulaiman Efendi sebagai pemimpin tarekat Naqsabandiyah.9 Dan masih banyak lagi tarekat-tarekat yang berkembang di Nusantara. Tarekat Tijaniyah, yang didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani (1150-1230H/1737-1815 M)10 adalah salah satu tarekat baru yang berkembang di Nusantara pada awal abad ke-20. Sebagai tarekat baru, Tijaniyah dikenal dengan nama neo-sufisme yaitu suatu gerakan tarekat yang menolak sisi ekstatik sufisme dan memilih mengamalkan aturan-aturan syari’at secara ketat.11 Sebagai neo-sufisme, ia merekonsiliasi antara syari’at dan tasawuf dengan penekanan pada kandungan sosio moral masyarakat muslim. Sejak dari tempat kelahirannya, Aljazair, hingga kehadirannya di Nusantara, Tarekat Tijaniyah menimbulkan kontroversi di kalangan para tokoh tarekat lain. Kontroversi ini timbul terutama dipicu klaim at-Tijani sendiri sebagai khatam al-auliya, yang menerima talqin secara barzakhi langsung dari Rasulullah, dan sikap ekslusif tarekat ini yang melarang murid-muridnya mengunjungi makam syaikh-syaikh tarekat lain dan merangkap menjadi anggota tarekat lain serta ajaran mengenai shalawat fatih yang dianggap sebagai shalawat terbaik sehingga tidak ada do’a atau dzikir yang menandinginya bahkan pahalanya bisa menandingi enam ribu kali membaca al-Qur’an dengan hatam sehingga seseorang yang membacanya dijamin masuk surga tanpa hisab. Konsep sufistik serta ajaran yang dianggap kontroversial ini kemudian dibahas dalam kongrres Nahdlatul Ulama ke-6 tahun 1931. Dalam kongres tersebut Nahdlatul Ulama, yang waktu itu dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari, memutuskan bahwa tarekat Tijaniyah termasuk tarekat yang muktabaroh (sah). dan diperkuat lagi pada muktamar NU ke-26 di Semarang yang menyatakan tarekat Tijaniyah merupakan salah satu dari 45 tarekat yang muktabaraoh. Namun demikian dalam perkembangannya, tarekat ini tidak lepas dari persoalan status kemuktabarahanya. Hal ini terlihat sejak tahun 1984 dengan gejolak yang mengemuka berupa ancaman pencoretan tarekat Tijaniyah dari tarekat muktabarah dari sejumlah anggota kongres NU ketika itu. Meskipun setelah ditelusuri lebih jauh, diketahui bahwa perkembangan Tijaniyah yang besar di daerah Madura, Pasuruan-Probolinggo telah banyak mengikis pengikut para kiyai yang berafiliasi politik, sehingga dianggap sebuah ancaman terhadap kedudukan para kiyai tersebut secara politis. Walau tidak tercatat secara jelas, kapan masuknya tarekat Tijaniyah ke Nusantara, namun ada dua fenomena yang menunjukkan gerakan awal tarekat Tijaniyah di Indonesia. Fenomena pertama yaitu kehadiran Syaikh ‘Ali bin Abdullah at-Thayyib di Tasikmalaya dengan tujuan menyebarkan tarekat Tijaniyah antara tahun 1918 dan 1921 M. Sedangkan fenomena kedua yaitu telah adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet, Cirebon pada tahun 1928.15 Kiai Anas yang tergolong masih muda namun berpengaruh dari pesantren Buntet di Cirebon mulai mengejarkan Tijaniyyah sekembalinya dari Arab pada bulan Juli 1927. Sejak saat itu tarekat Tijaniyah menyebar dengan cepat di Jawa Barat dan di sepanjang pantai utara Jawa, dengan Buntet sebagai pusatnya. Selain Cirebon tarekat ini secara khusus masuk ke Indonesia melalui Madura yang di bawa langsung dari Arab
oleh Kiyai Jauhari dan Kiyai Khozin yang belajar di Mekah dan dibaiat di sana. Sekembalinya ke Madura dua orang kiyai inilah yang kemudian menyebarkan tarekat Tijaniyyah di Madura. Kemudian kiyai Khozin menyebarkan juga ke Probolinggo, sehingga sepeninggal beliau penyebaran dan pengajaran tarekat Tijaniyah dilanjutkan putranya yaitu Kiyai Tijani. Dewasa ini, Tijaniyah dapat ditemukan di segenap penjuru Indonesia, tetapi pusat kekuatannya tetap berada di Jawa Barat, dengan basis pengikutnya di Garut dan Cirebon, Jawa Tengah, dengan Brebes dan Pekalongan sebagai basis jemaahnya serta Jawa Timur dengan basis ikhwannya di Surabaya, Probolinggo dan Madura. Melihat kenyataan di atas, kiranya diperlukan
penelitian yang lebih komperehensip mengenai tarekat ini, baik dari konsep sufistik, sejarah maupun pengaruhnya yang
ditimbulkan setelah masyarakat mengikuti jamaah tarekat ini. Hal ini dimaksudkan agar warisan intelektual tarekat Tijaniyyah terdokumentasikan dan dapat diperbincangkan dalam konteks akademik serta diketahui secara utuh, sehingga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan kesalahpahaman yang terjadi terhadap tarekat ini, yang mungkin dapat mengakibatkan kesenjangan diantara umat Islam khususnya dengan pengamal tarekat lain.Meskipun sudah ada yang pernah meneliti tarekat ini tetapi sepanjang pengetahuan peneliti, kajian tarekat Tijaniyah di Brebes, terkait dengan konsep sufistik, sejarah, dan pengaruhnya terhadap perubahan sosial keagamaan jamaah tarekat Tijaniyyah., belum ada yang melakukan sehingga berdasarkan paparan di atas peneliti tertarik untuk menelitinya.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Tarekat Tijaniyah |
Subjects: | 200 – Agama > 210 Filsafat dan teori agama > 210 Filsafat dan teori agama |
Divisions: | Fakultas Islam Nusantara > S2 Sejarah Peradaban Islam |
Depositing User: | Unnamed user with email anasghozali@unusia.ac.id |
Date Deposited: | 08 Aug 2023 06:30 |
Last Modified: | 10 Aug 2023 07:32 |
URI: | https://repository.unusia.ac.id/id/eprint/26 |