PELAKSANAAN SISTEM BAGI HASIL DALAM AKAD MUZARAAH PADA PENGOLAHAN LAHAN SAWAH DI KAMPUNG CIHAMPELAS DESA NARAWITA KABUPATEN BANDUNG

Akad bagi hasil merupakan akad yang dilakukan oleh dua belah pihak, dimana pada akan muzara'ah ini terdapat pihak pemilik lahan dan pihak yang mengelola atau disebut "penggarap" berdasarkan perjanjian dimana pihak penggarap diperbolehkan untuk mengelola atau melakukan usaha pertanian diatas lahan pemilik, dengan adanya pembagian hasil antara kedua belah pihak. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mendeskripsikan pelaksanaan sistem bagi hasil pertanian pada akad muzara'ah di kampung Cihampelas desa Narawita Kab. Bandung dengan menggunakan metode analisis induktif. Akad muzara'ah di kampung Cihampelas dikenal dengan istilah bagi hasil atau "nengah sawah" dilakukan atas keinginan pemilik lahan pertanian yang diakadkan secara lisan dengan dasar kepercayaan kepada pihak penggarap. Terdapat dua sistem bagi hasil dalam sistem nengah dan nilu di kampung Cihampelas, yakni penggarap memeberikan uang kepada pemilik sebagai uang sewa lahan, dan ada juga yang diberkan dalam bentuk padi dari hasil panen lahan tersebut. Perjanjian bagi hasil di kampung Cihampelas desa Narawita sesuai dengan perspektif syariat islam yaitu sudah ditentukan di awal kesepakatan yaitu sistem nengah dan nilu. Nengah sendiri adalah bagi hasil 50%: 50% dengan syarat pupuk, atau racun hama berasal dari pemilik lahan. Mertelu atau nilu adalah bagi hasil 30%: 70% dengan bahan pupuk, bibit dan alat pertanian lainnya berasal dari pihak penggarap. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil atau akad muzara'ah ini dilakukan dengan sistem profit and loss sharing dimana hasil dibagi sesuai porsi mengikuti untung dan ruginya hasil panen.