Standarisasi penetapan hakim terhadap permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama

Indonesia, berdasarkan data penelitian Rio Satrio dan Cate Sumner, menjadi salah satu negara dengan jumlah perkawinan anak tertinggi di dunia. Meskipun batasan usai telah diatur sejak tahun 1974 lalu, tetapi hal tersebut dirasa kurang mampu menanggulangi perkawinan anak di masyarkat. Tercatat pada tahun 2018, setidaknya ada 14 ribu permohonan izin menikah dibawah batasan usia yang telah diatur oleh Undang-Undang Perkawinan (UUP). Dari jumlah tersebut, prosentase diberinya izin bisa mencapai angka 90-99 persen. Sebagian beranggapan besarnya prosentase diberikan izin perkawinan dini dari pengadilan adalah karena longgarnya mekanisme pemeriksaan di persidangan.

Terlebih di tahun 2020, setelah direvisinya usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan permohonan dispensasi kawin di hampir seluruh Indonesia mengalami kenaikan yang pesat. Tentunya kenaikan tersebut perlu diikuti dengan pemeriksan permohonan dispensasi kawin yang ketat pula, sehingga kejadian perkawinan dini bisa sedikit ditanggulangi. Sedangkan angka prosentase permohonan dispensasi

Berangkat dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mencari standardisasi putusan hakim dalam memberikan izin atau menolak. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian pustaka dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian ini diantaranya, (1) putusan tidak boleh hanya bersandar pada kekhawatiran semata, (2) tidak hanya melihat kemampuan secara ekonomi saja, (3) putusnya pendidikan formal tidak diartikan sebagai telah hilang kesempatan melanjutkan pendidikan sehingga dijadikan alasan untuk pemberian izin melaksanakan perkawinan, (4) Hamil di luar nikah sebagai salah satu alasan yang mendesak untuk diberikan izin perkawinan dini.